#TugasKuliahPAI |
Bismillah... Kaka ini makalah saya dengan kelompok saya beberapa waktu lalu, semoga bermanfaat dan mohon koreksinya yaa :-)
BANK DAN RENTE,
BANK DAN FEE
Makalah Ini Diajukan
untuk Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah :
|
Masail Fiqih
|
Dosen Pengampu
:
|
Drs. H. Abdul
Ghofar MA
|
Disusun Oleh:
Kelompok 3
1.
Agus
Maulana (1414111003)
2.
Danu
Akhbar (1414111013)
3.
Diah
Siti Hartinah (1414111015)
Fakultas/ Jurusan/ Semester:
Tarbiyah/ PAI-A/ 5
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI CIREBON
Jl. Perjuangan By Pass
Sunyaragi Telp. (0231) 48624 Cirebon 45132
Tahun 2016
Kata
Pengantar
Segala
puji bagi Allah Swt. yang telah yang
telah melimpahkan rahmat, taufik, serta hidah-Nya kepada kami, sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah Masail Fiqih
ini, tanpa pertolongan-Nya mungkin penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpah
curahkan kepada junjungan kita baginda tercinta kita yakni Nabi Muhammad Saw.
Makalah ini kami membahas mengenai permasalah fiqih
terkait “Bank dan Rente, Bank dan Fee”.Dalam penulisan makalah ini, kami merasa masih banyak kekurangan baik pada
teknis penulisan maupun materi, mengingat akan keterbatasan kemampuan yang kami
miliki. Maka dari itu
kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan isi
dari makalah ini.
Cirebon,
September 2016
Penyusun
Daftar
Isi
Kata Pengantar........................................................................................ i
Daftar Isi ................................................................................................ ii
BAB I Pendahuluan ............................................................................... 1
A.
Latar
Belakang Masalah ............................................................. 1
B.
Rumusan
Masalah ...................................................................... 1
C.
Tujuan
Penulisan......................................................................... 1
BAB II Pembahasan .............................................................................. 2
A.
Pengertian
Bank dan Rente........................................................ 2
B.
Pengertian
Bank dan Fee............................................................ 11
BAB III Penutup ................................................................................... 12
A.
Kesimpulan
................................................................................ 12
B.
Saran
.......................................................................................... 12
Daftar Pustaka........................................................................................ 13
BAB
I
Pendahuluan
A.
Latar
Belakang Masalah
Dewasa ini, dalam kehidupan modern
keberadaan bank ternyata sudah menjadi kebutuhan yang penting bagi masyarakat
luas. Mulai dari yang menabung, yang meminjam uang dan sampai kepada yang
menggunakan jasanya untuk mentransfer uang dari satu kota atau negara kekota atau
negara lain
Mengenai perbankan ini sebenaroya
sudah dikenal kurang lebih 2500 sebelum masehi di Mesir Purba dan Yunani dan
kemudian oleh bangsa Romawi.Perbankan modern berkembang di Itali pada abad
pertengahan yang dikuasai oleh beberapa keluarga untuk membiayai ke-Pausan dan
perdagangan wol.Selanjutnya berkembang pesat pada abad ke-18 dan 19.
Sesuai dengan fungsinya bank-bank
terbagi kepada bank primer, yaitu bank sirkulasi yang menciptakan uang dan bank
sekunder, yaitu bank-bank yang tidak menciptakan uang, juga tidak dapat
memperbesar dan memperkecil arus uang, seperti bank-bank umum, tabungan, pembiayaan
usaha dan pembangunan.
Dalam topik ini, ada dua masalah yang akan dibahas, yaitu bank dan rente, bank dan fee.
Dalam topik ini, ada dua masalah yang akan dibahas, yaitu bank dan rente, bank dan fee.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan
beberapa permasalahan yaitu:
1.
Bagaimana
maksud dari bank dan rente?
2.
Bagaimana
maksud dari bank dan fee?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini yaitu:
1.
Menjelaskan
maksud dari bank dan rente.
2.
Menjelaskan
maksud dari bank dan fee.
BAB
II
Pembahasan
A.
Pengertian
Bank dan Rente
Bank menurut Undang-Undang Pokok Perbankan tahun 1967 adalah
lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu
lintas pembayaran serta peredaran uang.[1]
Kata bank diambil dari kata banco dalam bahasa Italia: yaitu meja
tempat meletakan uang penukaran di pinggir jalan pada zaman dahulu kala, yang
selalu ditunggu oleh seorang pelayan yang disebut bancer, kemudian menjelma
menjadi bankir. Bahkan jauh sebelumnya, kegiatan penukaran uang sudah pernah
terjadi sejak zaman kerajaan babiloniah, dan berlanjut ketika zaman kerjaan Yunani
dan Romawi, bankirnya kebanyakan pendeta kaya yang sering menyimpan uangnya di
candi-candi yang terjamin keamanannya, orang arab menyebut bank sebagai istilah
al-masraf dan ada juga yang menyebut dengan istilah al-banku.
Ditinaju dari misinya sebagai salah satu lembaga perekonomian, maka
bank melayani nasabah, sesuai dengan permintaan dan penawaran kridit. Sumber
bantuan kredit berasal dari pihak ketiga: yaitu penabung atau orang yang
mendepositkan uangnya di bank.
Istilah bank yang dikenal pada masa sekarang adalah lembaga
keuangan yang bergerak dalam perkreditan dan jasa dalam lalulintas pembayaran
serta predaran uang, sedangkan orang yang bergerak dalam bisnis uang di suatu
bank disebut bankir.
Perekonomian suatu negara sangat ditentukan oleh stabilitas
keuangan di negara yang bersangkutan. Dan salah satu lembaga keuangan yang
paling menentukan lalu lintas perekonomian negara adalah bank, dimana lembaga
tersebut merupakan suatu lembaga keuangan yang berfungsi menerima deposito,
tabungan serta dapat memberikan pinjaman, penyetoran uang, menjual jasa
perbankan lainnya; antara lain jual beli kertas berharga, transaksi devisa,
penukaran mata uang dan sebagainya.
Dengan demikian, maka fungsi bank tidak dapat dipisahkan dengan
dunia uasaha dan sangat menentukan keberhasilan perekonomaian suatu
negara.Sehingga pengamat ekonomi sering mengatakan, bahwa perbankan merupakan
salah satu pilar yang dapat menguatkan perekonomian suatu negara.[2]
Dari batasan di atas jelas bahwa usaha bank akan selalu dikaitkan
dengan masalah uang.Sedangkan rente adalah istilah yang berasal dari bahasa
Belanda yang lebih dikenal dengan istilah bunga.
Fuad Muhammad Fachruddin menyebutkan bahwa rente ialah keuntungan
yang diperoleh perusahaan bank, karena jasanya meminjamkan uang untuk
meancarkan perusahaan orang yang meminjam.Berkat bantuan bank yang meminjamkan
uang kepadanya, perusahaannya bertambah maju dan keuntungan yang diperolehnya
juga bertambah banyak.
Menurut Fachruddin, bahwa rente yang dipungut oleh bank itu haram
hukumnya. Sebab, pembayarannya lebih dari uang yang dipinjamkannya.Sedangkan
uang yang lebih dari itu adalah riba, dan riba itu haram hukumnya. Kemudian
dilihat dari segi lain, bahwa bank itu hanya tahu menerima untung, tanpa resiko
apa-apa. Bank meminjamkan uang, kemudian rentenya dipungut, sedang rente itu
semata-mata menjadi keuntungan bank yang sudah ditetapkan keuntungannya.Pihak
bank tidak mau tahu apakah orang yang meminjam uang rugi atau untung.
Di dalam Islam dikenal ada doktrin tentang riba dan
mengharamkannya.Islam tidak mengenal system perbankan modern dalam arti
praktis, sehingga terjadi perbedaan pendapat. Beda pandangan dalam menilai
persoalan ini akan berakibat timbul kesimpulan-kesimpulan hukum yang berbeda
pula, dalam hal boleh tidaknya, halal haramnya.
Dunia perbankan dengan system bunga (rente), kelihatannya semakn
mapan dalam perekonomian modern, sehingga hampir tdak mungkin menghindarinya,
apalagi menghilangkannya.Bank pada saat ini merupakan sesuatu kekuatan ekonomi
masyarakat modern.
Dari satu segi ada tuntutan keberadaan bank itu dalam masyarakat
untuk mengatur lalu lintas keuangan, di lain pihak, masalah ini dihadapkan
dengan keyakinan yang dianut oleh umat Islam, yang sejak awal kehadiran agama
Islam telah didoktrinkan bahwa riba itu haram hukumnya.Pada saat riba ini
diharamkan, riba itu telah berurat akar dalaam masyarakat jahiliyah yang
merupakan pemerasan orang kaya terhadap orang miskin.Orang kaya bertambah kaya
dan orang miskin bertambah melarat.
Sebagian besar ulama membagi riba menjadi dua macam, yaitu:
a.
Riba
nasiah, riba yang terjadi karena ada penangguhan (penundaan) pembayaran hutang.
b.
Riba
fadhl, riba yang terjadi karena ada tambahan pada jual beli benda bahan
sejenis.
Untuk menentukan status hukum
bermuamalah yang baik, masih banyak terdapat perbedaan pendapat di kalangan
para ulama atau cendikiawan muslim, diantaranya:
1.
Abu
Zahrah, guru besar pada Fakultas Hukum Universitas Kairo, Abu A’la al-Maududi
di Pakistan, Muhammad Abdullah al-‘Arabi dan Yusuf Qardlawi berkata bahwa bunga
bank itu (riba nasiah) dilarang oleh Islam oleh sebab itu umat Islam tidak
boleh bermuamalah dengan bank yang memakai siste, bunga kecuali keadaan darurat
(terpaksa). Diantara ulama tersebut, Yusuf Qardlawi tidak mengenal istilah “darurat
atau terpaksa” tetapi secara mutlak beliau mengharamkan.
2.
Musrtafa
Ahmad az-Zaqra, guru besar hukum Islam dan hukum perdata Fakultas Universitas
Syariah di Damaskus mengemukakan bahwa riba yang diharamkan seperti riba yang
berlaku pada masyarakat jahiliah, yang merupakan pemerasan terhadap orang yang
lemah (miskin), yang bersifat konsumtif. Berbeda dengan yang bersifat produktif
tidak termasuk haram. Dr. Muhammad Hatta di Indonesia ini juga berpendapat
demikian.
3.
A.
Hasan (persis) berpendapat bahwa bunga bank (rente), seperti yang berlaku di
Indonesia, bukan riba yang diharamkan karena tidak berlipat ganda sebagaimana yang
dimaksud oleh firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 130
4.
Majelis
Tarjih Muhammadiyah dalam muktamarnya di Sidoarjo 1968 memutuskan bahwa bunga
bank yang diberikan oleh bank kepada nasabahnya atau sebaliknya, termasuk syubhat
atau mutasyabihat, artinya belum jelas haramnya. Sesuai dengan petunjuk
hadits Rasulullah umat Islam harus lebih berhati-hati dalam menghadapi hal-hal
yang masih syubhat itu. Dengan demikian kita boleh bermuamalah dengan bank
apabila dalam keadaan terpaksa saja.[3]
Keputusan
yang diambil oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah mengenai perbankan sebagaimana
pernyataan berikut:
a) Riba hukumnya haram, dengan nash sharih, al-Qur’an dan as-Sunnah;
b) Bank dengan system riba hukumnya haram, sedangkan bank tanpa riba
adalah halal;
c) Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para
nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara
“musytabihat’;
d) Menyarankan kepada PP. Muhammadiyah untuk mengusahakn terwujudnya
konsepsi system perekonomian khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan
kaidah Islam.[4]
Setelah diperhatikan, dalam garis
besarnya ada empat pendapat yang berkembang dalam masyarakat mengenai masalah
riba ini, yaitu:
1.
Pendapat
yang mengharamkan.
2.
Pendapat
yang mengharamkan bila bersifat konsumtif, dan tidak haram bila bersifat
produktif.
3.
Pendapat
yang membolehkan (tidak haram).
4.
Pendapat
yang mengatakan syubhat.
Masing-masing kelompok yang berbeda
pendapat itu, semua merujuk kepada nash al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Namun dalam
memahaminya dan menafsirkannya terjadi perbedaan pendapat.Sebagai bahan kajian,
di bawah ini disebutkan ayat-ayat yang berhubungan dengan riba.
Allah Swt berfirman dalam surat ar-Rum ayat 39:
!$tBurOçF÷s?#uä`ÏiB$\/Íh(#uqç/÷zÏj9þÎûÉAºuqøBr&Ĩ$¨Z9$#xsù(#qç/ötyYÏã«!$#(!$tBurOçF÷s?#uä`ÏiB;o4qx.ycrßÌè?tmô_ur«!$#y7Í´¯»s9'ré'sùãNèdtbqàÿÏèôÒßJø9$#ÇÌÒÈ
“dan sesuatu
Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka
Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat
yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat
demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”
Di dalam ayat tersebut di atas,
tidak adapenegasan mengenai keharaman riba dengan zakat, yang nilainya jauh
berbeda.Riba (hadiah) membuat manusia suka (senang) sedangkan zakat tujuannya
mencapai ridha Allah.
Kemudan pada ayat lain Allah berfirman dalam Qs. An-Nisa : 160-161:
5Où=ÝàÎ6sùz`ÏiBúïÏ%©!$#(#rß$yd$oYøB§ymöNÍkön=tãBM»t7ÍhsÛôM¯=Ïmé&öNçlm;öNÏdÏd|ÁÎ/ur`tãÈ@Î6y«!$##ZÏWx.ÇÊÏÉÈãNÏdÉ÷{r&ur(#4qt/Ìh9$#ôs%ur(#qåkçXçm÷ZtãöNÎgÎ=ø.r&urtAºuqøBr&Ĩ$¨Z9$#È@ÏÜ»t7ø9$$Î/4$tRôtGôãr&urtûïÌÏÿ»s3ù=Ï9öNåk÷]ÏB$¹/#xtã$VJÏ9r&ÇÊÏÊÈ
“160. Maka
disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan)
yang baik-baik (yang dahulunya) Dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka
banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah,
161. dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya
mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang
dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di
antara mereka itu siksa yang pedih.”
Dalam ayat di atas pun, belum tegas
dinyatakan tentang keharaman riba. Isinya hanya mengandung kecaman terhadap
pemakan riba (Yahudi), karena dipandang memakan harta orang dengan cara yang
tidak sah (batil).
Lebih lanjut pada ayat lain Allah berfirman:
$ygr'¯»túïÏ%©!$#(#qãYtB#uäw(#qè=à2ù's?(##qt/Ìh9$#$Zÿ»yèôÊr&Zpxÿyè»ÒB((#qà)¨?$#ur©!$#öNä3ª=yès9tbqßsÎ=øÿè?ÇÊÌÉÈ
130. Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu memakan Riba dengan berlipat ganda[228] dan bertakwalah kamu
kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
Dalam ayat di atas sudah ada
ketegasan tentang larangan memakan riba ketegasan tentang larangan memakan
riba.Namun terdapat perbedaan pendapat.Bila berlipat ganda, haram hukumnya dan
bila tidak, dibolehkan (tidak dilarang).Sebagian ulama uga ada yang
berpendirian, bahwa riba itu tetap haram, walaupun tidak berlipat ganda.Kata
“berlipat ganda” dalam ayat tersebut, hanya menyatakan peristiwa (kejadian)
yang pernah terjadi di masa jahiiliyah dan jangan dipahami mafhum mukhalafnya,
yaitu sekiranya tidak berlipat ganda, berarti tidak haram (diperbolehkan).
Dalam memahami ayat 130 surat Ali
Imran ini, sudah terdapat tiga pendapat.
Kemudian pada ayat lain Allah
berfirman:
úïÏ%©!$#tbqè=à2ù't(#4qt/Ìh9$#wtbqãBqà)twÎ)$yJx.ãPqà)tÏ%©!$#çmäܬ6ytFtß`»sÜø¤±9$#z`ÏBÄb§yJø9$#4y7Ï9ºsöNßg¯Rr'Î/(#þqä9$s%$yJ¯RÎ)ßìøt7ø9$#ã@÷WÏB(#4qt/Ìh9$#3¨@ymr&urª!$#yìøt7ø9$#tP§ymur(#4qt/Ìh9$#4`yJsù¼çnuä!%y`×psàÏãöqtB`ÏiB¾ÏmÎn/§4ygtFR$$sù¼ã&s#sù$tBy#n=yÿ¼çnãøBr&urn<Î)«!$#(ïÆtBury$tãy7Í´¯»s9'ré'sùÜ=»ysô¹r&Í$¨Z9$#(öNèd$pkÏùcrà$Î#»yzÇËÐÎÈß,ysôJtª!$#(#4qt/Ìh9$#Î/öãurÏM»s%y¢Á9$#3ª!$#urw=Åsã¨@ä.A$¤ÿx.?LìÏOr&ÇËÐÏȨbÎ)úïÏ%©!$#(#qãZtB#uä(#qè=ÏJtãurÏM»ysÎ=»¢Á9$#(#qãB$s%r&urno4qn=¢Á9$#(#âqs?#uäurno4q2¨9$#óOßgs9öNèdãô_r&yZÏãöNÎgÎn/uwurì$öqyzöNÎgøn=tæwuröNèdcqçRtóstÇËÐÐÈ$ygr'¯»túïÏ%©!$#(#qãZtB#uä(#qà)®?$#©!$#(#râsur$tBuÅ+t/z`ÏB(##qt/Ìh9$#bÎ)OçFZä.tûüÏZÏB÷sBÇËÐÑÈbÎ*sùöN©9(#qè=yèøÿs?(#qçRsù'sù5>öysÎ/z`ÏiB«!$#¾Ï&Î!qßuur(bÎ)uróOçFö6è?öNà6n=sùâ¨râäâöNà6Ï9ºuqøBr&wcqßJÎ=ôàs?wurcqßJn=ôàè?ÇËÐÒÈbÎ)urc%x.rè;ouô£ããîotÏàoYsù4n<Î);ouy£÷tB4br&ur(#qè%£|Ás?×öyzóOà6©9(bÎ)óOçFZä.cqßJn=÷ès?ÇËÑÉÈ
275.
orang-orang yang Makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila[175]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu[176]
(sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang
yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya.
276. Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah[177].
dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu
berbuat dosa[178].
277. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh,
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi
Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati.
278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
279. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba),
Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat
(dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan
tidak (pula) dianiaya.
280. dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka
berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau
semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
Oleh sebagian ulama seperti
al-Maraghi dan as-Shabuni menyatakan, pengharaman riba diturunkan secara
bertahap, sebagaimana khamar (minuman keras). Berturut-turut diturunkan ayat
dalam surat ar-Rum: 39, an-Nisa: 160-161, Ali Imran: 130 dan al-Baqarah:
275-280.
Pada
ayat 278 dengan tegas dinyatakan
…(#râsur$tBuÅ+t/z`ÏB(##qt/Ìh9$#…ÇËÐÑÈ
“…Dan
tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut)…”
Dan pada ayat 279, dinyatakan
…(bÎ)uróOçFö6è?öNà6n=sùâ¨râäâöNà6Ï9ºuqøBr&…ÇËÐÒÈ
“…Dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu…”
Kalau masih ada sisa kelebihan yang belum dipungut, tidak boleh
lagi dipungut dan hanya dibenarkan memungut (menagih) modalnya saja, tidak
boleh lebih.Hal ini berarti mengambil kelebihan itu tetap tidak boleh.
Sebagian ulama kita berpendapat bahwa walaupun ayat yang disebutkan
dalam surat al-Baqarah, ayat yang terakhit diturunkan tetapi dalam menetapkan
hukumnya tetap ada kaitannya dengan surat Ali Imran ayat 130 yaitu haram
hukumnya sekiranya berlipat ganda.
Ada juga orang mempertanyakan mengapa pedagang (pengusaha) yang
mengambil kelebihan (keuntungan) lebih besar dapat dibenarkan, sedangkan bank
yang memungut kelebihan hanya sedikit saja tidak dibenarkan?Mengenai hal ini
barangkali jawaban yang tepat ialah bank tidak menanggung resiko rugi, walaupun
kelebihan tidak banyak.Sedangkan pada dagang (jual beli), ada kemungkinan
menanggung resiko rugi, karena dalam dunia dagang tidak mesti terus-menerus
beruntung.Pihak bank tidak mau tahu, apakah para peminjam rugi atau
untung.Bahkan barang/jaminan pun dapat disita, disamping kerugian yang
dideritanya.
Disamping ayat-ayat di atas ada beberapa hadits yang memperkuat
ayat-ayat tersebut, diantaranya:
Sabda Rasul
“Tiap-tiap peminjam (piutang)yang menarik suatu manfaat, adalah
semacam riba” (al-hadits)
Hadits Nabi:
“Sesungguhnya Nabi Saw. melarang peminjam (piutang) yang menarik suatu manfaat”
(al-hadits)
Sebagian ulama memandang bahwa hadits tersebut di atas ada
cacatnya.Hadits pertamanya mauquf dan hadits kedua cacat sanadnya.
Ibnu Mas’ud berkata:
“Sesungguhnya Nabi Saw. telah laknat pemakan riba (orang yang
memberi pinjaman), pemberi makannya (orang yang meminjam), dan dua orang saksi
dan penulisnya. Jika mereka tahu yang demikian, maka mereka dilaknat dengan
lidah Nabi Muhammad pada hari kiamat” (HR an-Nasai)
Nabi bersabda:
“Sesungguhnya riba itu hanya ada riba nasiah saja” (HR Bukhari)
Kendatipun di
antara hadits itua ada yang dipandang lemah, tetapi jiwanya sejalan dengan
ayat-ayat riba di atas.
B.
Bank
dan Fee
Mengenai pengetian bank sudah dijelaskan di atas. Di sini akan
disinggung maslah fee.Fee maksudnya adalah pungutan dana untuk kepentingan
administrasi, seperti keperluan kertas, biaya operasional dan lain-lain. Adapun
yang namanya, pungutan itu tetap termasuk bunga. Dengan demikian, persoalannya
tetap sama seperti uraian terdahulu, yaitu ada yang setuju dan ada pula yang
menentangnya.
Bagi ulama yang membolehkan pungutandana dar peminjam dan pemberi
dana (uang jasa) kepada penabung (deposito), tidak ada masalah, bila
bermuamalah dengan bank. Akan tetapi bagi ulama yang mengatakan syubhat atau
boleh bermuamalah dengan bankdalam keadaan darurat (terpaksa), masih mengundang
pertanyaan.Sampai kapan masa darurat itu berakhir dan sampai kapan pemahaman
syubhat itu hilang?
Oleh sebab itu perlu ada solusi terhadap pemecahan masalah yang
dihadapi oleh umat Islam mengenai perbankan ini.Salah satu alternatif atau
jalan keluarnya adalah mendirikan Bank Islam (Bank Syari’ah) yang telah banyak
beroperasi pada saat ini.[5]
BAB
III
Penutup
A.
Kesimpulan
Bank menurut Undang-Undang Pokok Perbankan tahun 1967 adalah
lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa dalam lalu lintas
pembayaran serta peredaran uang.Perekonomian suatu negara sangat ditentukan
oleh stabilitas keuangan di negara yang tersebut.Dan salah satu lembaga
keuangan yang paling menentukan lalu lintas perekonomian negara adalah bank.
Fuad Muhammad Fachruddin menyebutkan bahwa rente (bunga) ialah
keuntungan yang diperoleh perusahaan bank, karena jasanya meminjamkan uang
untuk meancarkan perusahaan orang yang meminjam.Berkat bantuan bank yang
meminjamkan uang kepadanya, perusahaannya bertambah maju dan keuntungan yang
diperolehnya juga bertambah banyak.Menurutnya, bahwa rente yang dipungut oleh
bank itu haram hukumnya.Sebab, pembayarannya lebih dari uang yang
dipinjamkannya.
Setelah diperhatikan, dalam garis
besarnya ada empat pendapat yang berkembang dalam masyarakat mengenai masalah
riba ini, yaitu: (1) Pendapat yang
mengharamkan, (2) Pendapat yang mengharamkan bila bersifat konsumtif, dan tidak
haram bila bersifat produktif, (3) Pendapat yang membolehkan (tidak haram). dan
(4) Pendapat yang mengatakan syubhat.
Fee maksudnya adalah pungutan dana untuk kepentingan administrasi,
seperti keperluan kertas, biaya operasional dan lain-lain. Adapun yang namanya,
pungutan itu tetap termasuk bunga. Dengan demikian, persoalannya tetap sama
seperti uraian terdahulu, yaitu ada yang setuju dan ada pula yang menentangnya.
B.
Saran
Dalam bermuamalah alangkah lebih
baiknya kita harus lebih berhati-hati dikhawatirkan ada uang yang hukumnya
adalah riba dan hal tersebut haram hukumnya.
Daftar Pustaka
Hasan, M. Ali. 2003. Masail Fiqhiyah:
Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Aibak Kutbuddin. 2009. Kajian
Fiqih Kontemporer (Edisi revisi). Yogyakarta: Teras
Mahjuddin. 2012. Masail Al-Fiqh:
Kasus-kasus Aktual dalam Hukum Islam. Jakarta: Kalam Mulia
[1] M.
Ali Hasan, Masail
Fiqhiyah: Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan M. Ali Hasan Jakarta:
Raja Grafindo Persada 2003, Hlm. 75
[2] H.
Mahjuddin, Masail
Al-Fiqh: Kasus-kasus aktual dalam hukum Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2012, Hlm.
337-338
[3]Hasan,
Op.Cit., Hlm 76-79.
[4]Kutbuddin
Aibak, M. HI, Kajian Fiqih Kontemporer, Yogyakarta: Teras, 2009, Hlm.
192
[5]Hasan, Op.
Cit., Hlm 79-87.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar